Dalam narasi pertanian Indonesia, seringkali sosok petani diidentikkan dengan laki-laki. Padahal, Perempuan Tani memainkan peran ganda yang krusial, bukan hanya sebagai tulang punggung ekonomi dan nutrisi keluarga, tetapi juga sebagai garda terdepan dalam menjaga Ketahanan Pangan nasional. Keterlibatan mereka meluas dari urusan domestik hingga pekerjaan di lahan, mulai dari penyemaian, penanaman, hingga pengolahan pascapanen. Tanpa kontribusi tak ternilai ini, mustahil bagi Indonesia untuk mencapai cita-cita Kedaulatan Pangan yang berkelanjutan dan berkeadilan.
Perempuan Tani memiliki peran unik dalam menjaga Ketahanan Pangan di tingkat rumah tangga. Mereka adalah pengambil keputusan utama terkait apa yang ditanam di pekarangan (lahan sempit) dan bagaimana hasil panen akan diolah untuk memenuhi kebutuhan gizi keluarga. Mereka seringkali lebih berorientasi pada diversifikasi tanaman, tidak hanya padi, tetapi juga sayuran, buah-buahan, dan rempah-rempah. Diversifikasi ini memastikan ketersediaan nutrisi yang seimbang, yang menjadi dasar dari Ketahanan Pangan yang sesungguhnya. Menurut survei yang dilakukan oleh Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Desa (LPMD) di Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta, pada Bulan Mei 2024, keluarga yang dipimpin atau dikelola secara aktif oleh Perempuan Tani memiliki tingkat keragaman pangan harian 30% lebih tinggi.
Di sektor produksi formal, partisipasi Perempuan Tani sangat vital dalam rantai nilai pertanian. Mereka adalah tenaga kerja utama dalam fase-fase yang membutuhkan ketelitian dan kesabaran, seperti penyiangan, pemupukan manual, dan panen. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) per Tahun 2023 menunjukkan bahwa kontribusi perempuan dalam jam kerja pertanian di sub-sektor padi dan palawija rata-rata mencapai 45% dari total tenaga kerja, angka yang menunjukkan betapa besar peran mereka dalam produksi komoditas utama.
Selain itu, Perempuan Tani modern kini semakin aktif dalam inovasi dan organisasi. Mereka membentuk kelompok tani wanita (KWT) yang berfokus pada pengolahan hasil pertanian menjadi produk bernilai tambah (misalnya, keripik singkong, tepung mocaf, atau bumbu instan). Inisiatif ini tidak hanya meningkatkan pendapatan keluarga, tetapi juga memperpanjang umur simpan hasil panen, yang secara langsung mendukung upaya Upaya Perlindungan Tanaman dari kerugian pascapanen. Untuk mendukung peran ini, Kementerian Koperasi dan UKM telah memberikan pelatihan manajemen dan perizinan P-IRT kepada 250 KWT di Provinsi Sulawesi Selatan sepanjang Triwulan II 2025.
Kesimpulannya, Perempuan Tani adalah pilar yang menopang sektor pertanian Indonesia. Pengakuan terhadap peran ganda mereka—sebagai penyedia nutrisi keluarga dan pelaku produksi nasional—adalah kunci untuk memperkuat Ketahanan Pangan. Dengan dukungan yang lebih besar dalam akses modal, teknologi, dan pelatihan, potensi mereka untuk membawa kemandirian pangan Indonesia ke tingkat yang lebih tinggi akan terwujud.