Ketergantungan terhadap pestisida kimia sintetis telah lama menjadi masalah pelik dalam pertanian modern, mengancam kesehatan tanah, keanekaragaman hayati, dan konsumen. Namun, tren global kini beralih ke solusi yang lebih berkelanjutan. Indonesia, dengan kekayaan hayati dan kearifan lokalnya, memiliki potensi besar untuk memimpin transisi ini melalui pengembangan dan pemanfaatan Biopestisida Ramah Lingkungan. Solusi biologis ini, yang berasal dari mikroorganisme, tanaman, atau mineral alami, menawarkan jalan keluar yang efektif dan aman untuk pengendalian hama, tanpa meninggalkan residu berbahaya. Keberhasilan dalam mengadopsi kembali praktik ini adalah kunci menuju pertanian yang lebih sehat dan masa depan pangan yang lestari.
Biopestisida Ramah Lingkungan bekerja dengan mekanisme yang lebih spesifik dan tidak merusak ekosistem secara luas dibandingkan pestisida kimia. Salah satu contoh kearifan lokal yang kini dikembangkan secara ilmiah adalah pemanfaatan ekstrak tumbuhan. Misalnya, ekstrak dari daun mimba (Azadirachta indica) telah terbukti efektif sebagai anti-feedant (penghambat makan) dan penghambat pertumbuhan bagi berbagai jenis serangga hama. Di sentra pertanian organik di Kabupaten Bogor, Jawa Barat, kelompok tani telah memproduksi sendiri biopestisida berbahan dasar mimba dan tembakau. Berdasarkan laporan internal ‘Dinas Pertanian dan Pangan Kabupaten Bogor’ pada Rabu, 20 Maret 2024, penggunaan formulasi ini menunjukkan efektivitas pengendalian hama wereng coklat mencapai 80%, menandingi efektivitas pestisida kimia konvensional, namun dengan dampak nol terhadap predator alami hama.
Penggunaan agen pengendali hayati (biological control agents) juga merupakan bagian penting dari Biopestisida Ramah Lingkungan. Hal ini melibatkan pengenalan musuh alami hama ke lingkungan pertanian. Sebagai contoh, jamur Beauveria bassiana dan Metarhizium anisopliae adalah agen biokontrol yang umum digunakan untuk menginfeksi dan membunuh serangga. Para peneliti dari ‘Balai Penelitian Tanaman Pangan’ merekomendasikan aplikasi biopestisida berbasis jamur ini pada sore hari (pukul 16.00 hingga 18.00) pada hari Jumat untuk menghindari sinar UV matahari yang dapat mengurangi viabilitas jamur. Metode aplikasi yang tepat ini adalah kunci keberhasilan di lapangan.
Selain itu, transisi ke Biopestisida Ramah Lingkungan didukung oleh regulasi yang semakin ketat. Pihak berwenang, seperti ‘Badan Karantina Pertanian,’ secara konsisten meningkatkan pengawasan terhadap residu kimia pada komoditas ekspor. Tekanan pasar dari pembeli internasional yang menuntut produk residue-free (bebas residu) semakin memaksa petani untuk mengadopsi solusi non-kimia. Dengan mengombinasikan pengetahuan tradisional tentang tanaman pengusir hama dengan teknologi formulasi modern, Indonesia dapat tidak hanya melindungi lingkungan dan kesehatan masyarakat, tetapi juga mengukuhkan posisinya di pasar ekspor organik global.