Sektor agraris global kini tengah menghadapi era baru dengan hadirnya digitalisasi pertanian. Konsep ini menjanjikan peningkatan produktivitas, efisiensi, dan keberlanjutan melalui pemanfaatan teknologi canggih, namun adopsinya oleh petani, terutama di negara berkembang, masih menghadapi berbagai tantangan. Meski demikian, peran inovasi dalam mempermudah akses dan penggunaan teknologi menjadi kunci untuk mewujudkan potensi penuh dari digitalisasi pertanian. Memahami baik tantangan maupun inovasi yang ada akan mempercepat transisi menuju pertanian yang lebih modern dan efisien.
Salah satu tantangan utama dalam digitalisasi pertanian adalah kesenjangan digital (digital divide) yang masih lebar. Banyak petani di daerah pedesaan mungkin tidak memiliki akses memadai ke internet, listrik, atau bahkan perangkat pintar yang dibutuhkan untuk menjalankan teknologi ini. Selain itu, biaya investasi awal untuk smart sensor, drone pertanian, atau perangkat lunak manajemen lahan seringkali terlalu tinggi bagi petani skala kecil. Kurangnya literasi digital dan pemahaman tentang manfaat teknologi juga menjadi penghambat. Sebuah survei yang dilakukan oleh Pusat Data Pertanian Nasional pada 1 April 2025 menunjukkan bahwa hanya 15% petani di wilayah terpencil yang memiliki akses internet stabil, menghambat adopsi teknologi berbasis data.
Namun, berbagai inovasi terus dikembangkan untuk mengatasi tantangan tersebut. Pertama, munculnya platform digitalisasi pertanian yang berbasis aplikasi seluler dengan antarmuka yang ramah pengguna. Aplikasi ini memungkinkan petani untuk mengakses informasi cuaca, harga pasar, rekomendasi pemupukan, hingga konsultasi dengan ahli pertanian hanya melalui ponsel mereka. Beberapa aplikasi bahkan dirancang untuk bekerja dengan koneksi internet terbatas atau mode offline. Contohnya adalah aplikasi “Petani Jaya” yang diluncurkan pada 20 Mei 2025, yang telah digunakan oleh lebih dari 50.000 petani di seluruh Indonesia.
Kedua, inovasi dalam pembiayaan dan model bisnis juga mendukung adopsi teknologi. Skema subsidi pemerintah, program kemitraan dengan perusahaan agritek, atau model “pay-per-use” untuk teknologi mahal seperti drone penyemprotan, membantu mengurangi beban finansial petani. Ketiga, program edukasi dan pelatihan yang intensif dan berkelanjutan menjadi esensial. Penyuluhan yang dilakukan secara langsung di lapangan oleh petugas penyuluh pertanian, yang memperkenalkan teknologi secara bertahap dan menunjukkan manfaat konkretnya, terbukti lebih efektif. Dengan mengatasi hambatan dan terus mengembangkan inovasi yang relevan, digitalisasi pertanian akan semakin terwujud, membawa pertanian ke tingkat produktivitas dan keberlanjutan yang lebih tinggi.
